kratonjogja.id - Pameran Narawandira: Ragam Vegetasi di Keraton Yogyakarta
Vegetasi memiliki peran penting dalam pembentukan Kota Kerajaan. Peran tersebut ditunjukkan melalui penanaman vegetasi khusus dalam mendukung filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Pohon asam jawa (Tamarindus indica), pohon tanjung (Mimusops elengi), pohon pakel (Mangifera oetida), pohon kweni (Mangifera odorata), dan beberapa pohon lain memberi sumbangsih sebagai perlambang dari proses kehidupan. Di sisi lain, pohon beringin (Ficus benjamina) ataupun pohon sawo kecik (Manilkara kauki) tidak sekadar menyimpan makna filosofi, tetapi juga sebagai penanda dari kediaman para bangsawan. Pelbagai peran dari vegetasi tersebut kemudian berkembang sesuai dengan fungsi tepat gunanya. Pohon kepel (Stelechocarpus buharol) menjadi contoh konkret dari pemanfaatan vegetasi di keraton. Secara tradisional, buah kepel digunakan sebagai pelancar kencing, pencegah inflamasi ginjal, deodoran oral, dan antifertilitas. Selain itu daging buahnya juga menjadi bagian dari jamu “awet ayu” atau jamu kecantikan. Kayu kepel dikenal sebagai kayu yang baik untuk bahan peralatan rumah dan konstruksi. Dari beberapa pohon tersebut, dicatatlah pohon-pohon yang berkaitan langsung dengan keraton secara holistik.
Beberapa jenis tanaman itu ialah,
Nama Jawa: Waringin ꦮꦫꦶꦔꦶꦤ꧀
Nama Indonesia: Beringin
Nama Latin: Ficus benjamina
Beringin (Ficus benjamina) memiliki persebaran alami dari India, Tiongkok Selatan, Indocina, Kepulauan Nusantara, Australia Utara, hingga Kepulauan Solomon. Pertumbuhan pohon beringin dapat mencapai tinggi hingga 40−50 m dengan diameter batang mencapai 100−190 cm. Tidak mengherankan jika dengan rimbun daun dan akar gantungnya, pohon ini seringkali terkesan angker.
Masyarakat Asia Tenggara terutama Malaysia dan Indonesia mengadopsi pemaknaan masyarakat India terhadap pohon banyan (Ficus religiosa atau Ficus benghalensis) untuk Ficus benjamina atau jenis Ficus lain dari subgenera Urostigma sebagai pohon yang disakralkan. Pohon ini dianggap sebagai pohon kehidupan, tempat bersemayam roh serta lambang kedigdayaan atau pengayoman. Oleh karena itu, beringin seringkali ditanam di tempat-tempat yang dianggap keramat atau suci seperti alun-alun, mata air, dan pemakaman.
Secara ekologis, keberadaan beringin penting sebagai sumber pakan utama bagi satwa-satwa pemakan buah seperti burung terutama di kawasan urban. Tajuk lebar yang dimiliki pohon ini mampu menahan air hujan sehingga mengurangi potensi erosi akibat tetesan air hujan. Selain itu, perakarannya yang dalam dan luas mampu meningkatkan kapasitas tanah untuk menyerap air hujan dan meningkatkan cadangan air tanah. Daunnya lebar, membuat pohon beringin sangat baik dalam memberi keteduhan efektif, menyerap karbondioksida, dan menghasilkan oksigen.
Ada dua macam pohon beringin yang ditanam di Keraton Yogyakarta, yaitu beringin yang kita kenal pada umumnya (Ficus benjamina) dan beringin preh (Ficus ribes). Pohon beringin tersebut bisa dijumpai di Alun-Alun Utara, Plataran Kamandungan Lor, Plataran Kemagangan, dan Alun-Alun Selatan. Di Alun-Alun Utara, pohon beringin ditanam mengelilingi alun-alun. Persis di tengahnya, baik itu di Alun-Alun Utara maupun Alun-Alun Selatan, ditanam sepasang pohon beringin yang diberi pagar (yang dikenal dengan sebutan ringin kurung).
Pohon beringin memiliki makna keteduhan dan pengayoman, bahwa Sultan sebagai raja akan senantiasa mengayomi rakyatnya. Beringin juga kerap menjadi representasi dari seorang pemimpin, sebab memiliki 7 keistimewaan:
- kuat dan kokoh,
- mudah beradaptasi,
- pengayom,
- penopang,
- bersinergi dengan pemimpin di atasnya,
- memberi manfaat,
- terus bertumbuh.
Nama Jawa: Gayam ꦒꦪꦩ꧀
Nama Indonesia: Gayam
Nama Latin: Inocarpus fagifer
Gayam berasal dari Kepulauan Nusantara, kemudian disebarkan seiring dengan migrasi manusia ke Kepulauan Pasifik. Kini pohon gayam dibudidayakan di Kepulauan Pasifik, Papua Nugini, dan Indonesia terutama Jawa dan Sulawesi. Gayam termasuk pohon yang adaptif di segala jenis tanah, tetapi tidak tahan kekeringan.
Gayam menjadi makanan pokok bersama dengan kelapa dan sukun di Polinesia dan Mikronesia. Buahnya dimakan setelah direbus, dipanggang, atau digiling. Bijinya memiliki rasa seperti chestnut. Buah dan bijinya kaya akan karbohidrat dan protein. Kegunaan lain dari gayam, antara lain daunnya dimanfaatkan sebagai pembungkus, kulit kayunya sebagai pewarna dan obat sakit perut, dan kayunya baik untuk perkakas dan kerajinan. Di Jawa, pohon gayam kadang ditanam di dekat aliran air atau mata air sebagai penguat bantaran.
Di Kota Yogyakarta, Pohon gayam (Inocarpus edulis) banyak ditanam di sepanjang Jalan Marga Utama, Malioboro, hingga Marga Mulya. Jalan-jalan tersebut membentang dari Tugu Golong Gilig hingga ke Titik Nol Yogyakarta (sumbu filosofi). Selain itu, pohon gayam juga ditanam di sebelah selatan Bangsal Pagelaran, pada jalan menuju Sitihinggil dan Alun-Alun Selatan.
Kata “gayam” berasal dari bahasa Jawa “nggayuh” yang bermakna meraih sesuatu. Pohon gayam kemudian menjadi perlambang manusia yang harus mempunyai keinginan untuk mencapai keutamaan hidup. Makna lain dari gayam berasal dari akronim gegayuh ayem yang berarti mencari ketenangan. Pohon gayam juga menjadi perlambang keteduhan dan ketentraman (ayem). Kaitannya dengan pribadi Sultan, diharapkan sebagai seorang pemimpin mampu memberi pengayoman dan keteduhan sehingga rakyat dapat hidup dengan tenteram. Di samping sebagai perlambang atas diri Sultan, pohon gayam, terkhusus buahnya menjadi nama dari bentuk warangka keris, yakni gayaman.
0 Komen